Kamis, 20 September 2012

Rindu, Gairah, dan Kebangkitan




Kapan kite pameran agik ne ?

Berape dah karya kaw, boy ?
Lamak dah kite tak ngumpol ni ye ?

Kaw sih nyaman boy, order masok teross ....


Demikian sekelumit risau yang menggema pagi itu, di selasar gedung Museum Prov. Kalbar pada tanggal 16 September 2012. Sekitar 20-an perupa Kalbar yang bermukim di kota Pontianak mendadak berkumpul untuk melukis bersama. Kerinduan pasca lebaran, silaturahim yang tak kesampaian menjadilah sebuah undangan dari hape ke hape. Kebersamaan yang melahirkan sebuah 'deklarasi' untuk terus memelihara kebersamaan dan semangat bekarya. Walau tak tumpah dalam ujud sebuah nama komunitas atawa lembaga, agaknya tujuan bersama untuk menggairahkan iklim ber-seni rupa telah pun memadai untuk mengawali sebuah kebangkitan.

Kesepakatan-kesepakatan tertuang dalam lisan tak bermaterai. "Kite On The Spot same-same minggu ni', seru Bang Man yang menjadi penggagas pertemuan pasca rehat ketika semua telah selesai memenuhi area museum dengan warna-warna jiwanya masing-masing.

(bersambung)

Jumat, 24 Agustus 2007

Menyoal Strategi Budaya*

WACANA LOKALITAS

Berbicara tentang lokalitas budaya adalah berbicara tentang kompleksitas. SDM, infrastruktur, iklim berkesenian, tingkat apresiasi dan tentu saja hal yang sangat klasik yaitu dukungan dana dan fasilitas. Bak sebuah pertunjukan parodi yang tidak saja mengundang tawa, tetapi juga satir dan ironi.

Kemajuan yang membawa keterbelakangan, identitas kedaerahan yang lekat walaupun pasti tak banyak pihak yang jujur mengakui. Maka dalam konteks budaya, militansi lokalitas versus dominasi ‘java- sentris’ masih terdengar berbisik- bisik. Jika java- sentries telah banyak melahirkan manifesto- manifesto budaya (sebagai bagian dari strategi budaya, ingat manifestasi kebudayaan, gerakan seni rupa baru, dll) yang me-nasional dan menjadi momentum ke arah pergerakan yang terus- menerus, dinamis, dan terbukti membawa perubahan. Kita (di sini, Kalbar), masih dibingungkan oleh berbagai kendala dan permasalahan yang kompleks hatta bagaimana kita berstrategi. Pun pada kenyataannya strategi itu tidak diusung secara kolektif, terkesan parsial, bahkan disengaja atau tidak dipisahkan oleh banyak kepentingan.
Begitulah, sepertinya kita sudah cukup berbangga dengan hadirnya mal- mal yang me’megah’kan dan memodernkan kota kita. Pusat- pusat pertokoan dan gedung- gedung perkantoran yang mulai punya style, kondisi jalan berlubang, banjir dan pasang di musim hujan, pedagang buah yang berlimpahan di trotoar, hingga lapangan futsal yang ngetren menjamur di setiap sudut kota. Pengelola kota sungguh sudah sangat sibuk, dan kita memaklumi itu.
Wajarlah, jikalau kemudian beberapa aspek pembangunan terlihat terpinggirkan (atau dipinggirkan?). Seperti halnya pembangunan seni budaya. Namun menjadi tak bijak apabila kita hanya bisa menyalahkan salah satu pihak saja, dalam hal ini dinas yang terkait mengurusi bidang tersebut.

Wacana yang sudah pernah diketengahkan oleh sdr. Yosi Pontian dan sdr. Frans Iwan Djelani (Seni dan Budaya Adalah Identitas, Pontianak Post, 20 Desember 2006), tentang institusi pendidikan seni-nya patut untuk ditanggapi secara positip sebagai salah satu upaya strategi budaya yang dimaksud. Tidak hanya usaha yang juga pernah dilakukan oleh beberapa rekan seniman untuk memasukkan muatan local seni budaya ke dalam kurikulum sekolah yang patut terus di support, tetapi juga dalam rangka untuk melestarikan dan memajukan seni budaya daerah secara terus- menerus dan sistematis melalui lembaga pendidikan formal. Sekaligus untuk menjawab kekurangan tenaga pendidik kesenian yang professional di sekolah- sekolah. Terlepas dari siap tidaknya infrastruktur seni budaya yang ada di daerah kita. Ketika sesuat wa u telah menjadi kebutuhan yang mendesak maka tidak bisa tidak sesuatu itu menjadi wajib untuk dipenuhi.

Apatah lagi, jika segenap pekerja seni, budayawan, pemerintah maupun swasta, memiliki visi yang sama, dari dan untuk kemajuan seni budaya kita. Visi yang pasti membutuhkan strategi untuk mewujudkannya.

SINERGI

Strategi yang dimaksud adalah pola manajemnen (sah saja jika diasumsikan sebagai politik kebudayaan, asal jangan demi kepentingan politik tentu saja). Manajemen yang diusung secara kolektif berupa tanggung jawab bersama tanpa dibebankan atau tergantung kepada salah satu pihak saja. Kesadaran bersama untuk maju dan memajukan, adalah suatu proses yang tentu saja melalui aksi mewujudkannya.
Kesadaran tersebut terbangun dengan komunikasi dan dialog yang intens antar banyak pihak yang peduli terhadap masa depan kesenian kita, termasuklah dengan masyarakat luas, penikmat dan pencinta seni hinga masyarakat awam seni. Dialog positip bukan atas dasar ego atau kepentingan sesaat saja. Budaya lebih membesar- besarkan’kerajaanya’ (komunitas, sanggar, individu) masing- masing hendaknya dieliminisir. Apalagi hanya sekadar bernostalgia tentang kebesaran masa lalu. Yang kita inginkan adalah kontribusi nyata dalam perkembangan dan kemajuan seni budaya kita secara luas dan menyeluruh, tidak parsial sebagaimana telah digambarkan sebelumnya. Walaupun hal itu tidak secara mutlak dapat dibenarkan sebagai penyebab stagnasi berkesenian di Kalbar.

Tak cukup sekadar dalih ‘yang penting kami sudah berbuat’, lalu segalanya menjadi beres, kenudian duduk melamun memikirkan lagi proyek apalagi yang hendak digoal-kan selanjutnya. Satu perjalanan akan sia- sia dilakukan tanpa menetapkan tujuan. Tanpa tujuan hanya menjadikan kita petualang- petualang kesenian yang tak tentu arah, inkonsisten, tidak istiqomah. Yang kemudian suatu saat akan kebingungan hendak berlabuh kemana.
Menjadi sangat penting kiranya apabila dialog kesenian pada akhir tahun lalu yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) Pontianak, dapat menghasilkan kesepakatan untuk mengusung strategi kebudayaan yang jelas sebagai momentum arah pergerakan selanjutnya. Padahal acara dihadiri oleh banyak seniman, budayawan pekerja seni dan pihak- pihak yang terkait seperti Taman Budaya dan Dinas Pariwisata. Terlebih penting lagi, dialog pada waktu itu membahas strategi budaya masing- masing etnis besar yang ada di Kalbar (lagi- lagi parsial!) dalam rangka mewujudkan harmonisasi budaya di masyarakat yang multicultural.

Hadirnya komunitas- komunitas kesenian yang baru, dengan semangat baru, dan harapan serta visi yang segar, harus selalu dibina dan ditumbuhkembangkan (Komunitas Kebun kopi, Pontianak Post,12 Januari 2007, Komunitas Seni Jalan Lain, Penulis- penulis muda Kalbar), Sebagai kantong- kantong budaya yang berperan serta dalam pemajuan dan peningkatan apresiasi seni di masyarakat, komunitas- komunitas tersebut adalah gerbong- gerbong dalam satu lokomotif yang sama, yang berjalan dengan satu tujuan. Seperti itulah hendaknya sinergi yang akan kita bangun bersama. Semoga.

*tulisan ini dimuat PontianakPost, Rabu 21 Maret 2007

Jumat, 10 Agustus 2007

dari ruang ke ruang



Tiadanya ruang yang representatif untuk sebuah pameran lukisan (seni rupa) sekarang ini di kota Pontianak, tidak membuat para pelaku seni dan pihak penyelenggara pameran (event organizer) kehilangan semangat untuk menggelar sebuah pameran yang apresiatif. Berbagai gelaran pameran di luar dari pada institusi resmi (taman budaya, yang gedung pamerannya sudah tak layak lagi), kerap kali dilaksanakan selama kurang lebih 6 (enam), tahun belakangan ini.

Ruang-ruang alternatif yang terkait dengan ruang publik, sering menjadi tempat tujuan pihak penyelenggara. seperti lobi-lobi hotel, museum, dan mal. Dengan tujuan untuk meluaskan dan menjangkau apresiasi yang lebih liuas dari khalayak (pencinta seni,kolektor,pedahang,agen,dan masyarakat awam seni), sebagaimana yang pernah dimuat di pontianakpost, rabu, 6 September 2006, halaman 17.

Sebuah kreatifitas yang patut diacungi jempol sekaligus mengundang ironi. Terkait dengan pengelolaan pameran itu sendiri. Karya lukis (seni rupa) sebagai sebuah karya representasi dari ide, gagasan, pemikiran, maupun pengalaman hidup pelukisnya, harus disampaikan dan disajikan kepada khalayak penikmat dengan lebih komunikatif. Di tingkat apresiasi yang sedang dibangun dan ditingkatkan, mustahil membiarka masyarakat untuk menafsir, membaca, atau menikmati karya seni tanpa ada upaya merespon secara komunikatif minat masyarakat akan karya seni itu sendiri.

Dalam sebuah gelaran pameran, hal itu bukan saja menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara tetapi juga menjadi tanggung jawab peserta/pelukisnya. Walaupun, dalam beberapa hal cukuplah paniitia menyediakan 'guide' yang cukup berpengetahuan dalam hal seluk beluk karya seni. Selain berfungsi sebagai ujung tombak pemasaran yang berperan penting dalam upaya 'transfer' karya seni dari seniman ke masyarakat luas.

Hal penting lainnya adalah tentang display (tata letak) karya yang memungkinkan peminat untuk menikmati sebuah karya dengan lebih nyaman dan seksama. Dan itu memerlukan pengetahuan khusus menyangkut seni visual (tata letak) dan tipologi masyarakat dalam menilai karya seni.

Faktor pendukung lain adalah promosi dan publikasi. Tanpa ke dua aspek ini aka berakibt kepada apresiasi seni masyarakat. Apresiasi masyarakat kurang, menyebabkan tingkat kesejahteraan seniman jadi memprihatinkan. Seniman yang tidak sejahtera akan menurunkan nilai eksistensinya yang pada akhirnya akan tenggelam sama sekali. Padahal mungkin seniman tersebut sangat berbakat, potensial, dan produktif. Sangat sering kita jumpai di kota ini seorang pelukis banting stir ke profesi lain dan meninggalkan dunia lukisnya di karenakan dia tak mendaoat kesejahteraan sebagai pelukis. alih-alih menjadi terkenal, di kampungnya sendiri pun warga tak mengenal dirinya sebagai pelukis (seniman). akankah seperti Van Gogh yang terkenal dan karyanya mendunia setelah lama wafat?

Kita tentu merindukan, lahirnya seniman-seniman lokal yang berprestasi tak hanya di daerahnya tetapi juga terkenal di kancah seni rupa nasional, bahkan dunia!? dengan mendukung dan memberikan apa yang pantas buat eksistensi mereka. menjadi kewajiban kita bersama untuk saling bahu-membahu membangun dunia kesenian kita.



"kanvas kosong itu telah penuh dengan goresan
membentuk dan merupa
warna- warna berserabutan
bercinta dalam komposisi dan warna
menggairahkan mood
dan menanti ending sebuah klimaks"

*tulisan ini dimuat di harian PontianakPost, minggu 10 September 2006