Jumat, 24 Agustus 2007

Menyoal Strategi Budaya*

WACANA LOKALITAS

Berbicara tentang lokalitas budaya adalah berbicara tentang kompleksitas. SDM, infrastruktur, iklim berkesenian, tingkat apresiasi dan tentu saja hal yang sangat klasik yaitu dukungan dana dan fasilitas. Bak sebuah pertunjukan parodi yang tidak saja mengundang tawa, tetapi juga satir dan ironi.

Kemajuan yang membawa keterbelakangan, identitas kedaerahan yang lekat walaupun pasti tak banyak pihak yang jujur mengakui. Maka dalam konteks budaya, militansi lokalitas versus dominasi ‘java- sentris’ masih terdengar berbisik- bisik. Jika java- sentries telah banyak melahirkan manifesto- manifesto budaya (sebagai bagian dari strategi budaya, ingat manifestasi kebudayaan, gerakan seni rupa baru, dll) yang me-nasional dan menjadi momentum ke arah pergerakan yang terus- menerus, dinamis, dan terbukti membawa perubahan. Kita (di sini, Kalbar), masih dibingungkan oleh berbagai kendala dan permasalahan yang kompleks hatta bagaimana kita berstrategi. Pun pada kenyataannya strategi itu tidak diusung secara kolektif, terkesan parsial, bahkan disengaja atau tidak dipisahkan oleh banyak kepentingan.
Begitulah, sepertinya kita sudah cukup berbangga dengan hadirnya mal- mal yang me’megah’kan dan memodernkan kota kita. Pusat- pusat pertokoan dan gedung- gedung perkantoran yang mulai punya style, kondisi jalan berlubang, banjir dan pasang di musim hujan, pedagang buah yang berlimpahan di trotoar, hingga lapangan futsal yang ngetren menjamur di setiap sudut kota. Pengelola kota sungguh sudah sangat sibuk, dan kita memaklumi itu.
Wajarlah, jikalau kemudian beberapa aspek pembangunan terlihat terpinggirkan (atau dipinggirkan?). Seperti halnya pembangunan seni budaya. Namun menjadi tak bijak apabila kita hanya bisa menyalahkan salah satu pihak saja, dalam hal ini dinas yang terkait mengurusi bidang tersebut.

Wacana yang sudah pernah diketengahkan oleh sdr. Yosi Pontian dan sdr. Frans Iwan Djelani (Seni dan Budaya Adalah Identitas, Pontianak Post, 20 Desember 2006), tentang institusi pendidikan seni-nya patut untuk ditanggapi secara positip sebagai salah satu upaya strategi budaya yang dimaksud. Tidak hanya usaha yang juga pernah dilakukan oleh beberapa rekan seniman untuk memasukkan muatan local seni budaya ke dalam kurikulum sekolah yang patut terus di support, tetapi juga dalam rangka untuk melestarikan dan memajukan seni budaya daerah secara terus- menerus dan sistematis melalui lembaga pendidikan formal. Sekaligus untuk menjawab kekurangan tenaga pendidik kesenian yang professional di sekolah- sekolah. Terlepas dari siap tidaknya infrastruktur seni budaya yang ada di daerah kita. Ketika sesuat wa u telah menjadi kebutuhan yang mendesak maka tidak bisa tidak sesuatu itu menjadi wajib untuk dipenuhi.

Apatah lagi, jika segenap pekerja seni, budayawan, pemerintah maupun swasta, memiliki visi yang sama, dari dan untuk kemajuan seni budaya kita. Visi yang pasti membutuhkan strategi untuk mewujudkannya.

SINERGI

Strategi yang dimaksud adalah pola manajemnen (sah saja jika diasumsikan sebagai politik kebudayaan, asal jangan demi kepentingan politik tentu saja). Manajemen yang diusung secara kolektif berupa tanggung jawab bersama tanpa dibebankan atau tergantung kepada salah satu pihak saja. Kesadaran bersama untuk maju dan memajukan, adalah suatu proses yang tentu saja melalui aksi mewujudkannya.
Kesadaran tersebut terbangun dengan komunikasi dan dialog yang intens antar banyak pihak yang peduli terhadap masa depan kesenian kita, termasuklah dengan masyarakat luas, penikmat dan pencinta seni hinga masyarakat awam seni. Dialog positip bukan atas dasar ego atau kepentingan sesaat saja. Budaya lebih membesar- besarkan’kerajaanya’ (komunitas, sanggar, individu) masing- masing hendaknya dieliminisir. Apalagi hanya sekadar bernostalgia tentang kebesaran masa lalu. Yang kita inginkan adalah kontribusi nyata dalam perkembangan dan kemajuan seni budaya kita secara luas dan menyeluruh, tidak parsial sebagaimana telah digambarkan sebelumnya. Walaupun hal itu tidak secara mutlak dapat dibenarkan sebagai penyebab stagnasi berkesenian di Kalbar.

Tak cukup sekadar dalih ‘yang penting kami sudah berbuat’, lalu segalanya menjadi beres, kenudian duduk melamun memikirkan lagi proyek apalagi yang hendak digoal-kan selanjutnya. Satu perjalanan akan sia- sia dilakukan tanpa menetapkan tujuan. Tanpa tujuan hanya menjadikan kita petualang- petualang kesenian yang tak tentu arah, inkonsisten, tidak istiqomah. Yang kemudian suatu saat akan kebingungan hendak berlabuh kemana.
Menjadi sangat penting kiranya apabila dialog kesenian pada akhir tahun lalu yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) Pontianak, dapat menghasilkan kesepakatan untuk mengusung strategi kebudayaan yang jelas sebagai momentum arah pergerakan selanjutnya. Padahal acara dihadiri oleh banyak seniman, budayawan pekerja seni dan pihak- pihak yang terkait seperti Taman Budaya dan Dinas Pariwisata. Terlebih penting lagi, dialog pada waktu itu membahas strategi budaya masing- masing etnis besar yang ada di Kalbar (lagi- lagi parsial!) dalam rangka mewujudkan harmonisasi budaya di masyarakat yang multicultural.

Hadirnya komunitas- komunitas kesenian yang baru, dengan semangat baru, dan harapan serta visi yang segar, harus selalu dibina dan ditumbuhkembangkan (Komunitas Kebun kopi, Pontianak Post,12 Januari 2007, Komunitas Seni Jalan Lain, Penulis- penulis muda Kalbar), Sebagai kantong- kantong budaya yang berperan serta dalam pemajuan dan peningkatan apresiasi seni di masyarakat, komunitas- komunitas tersebut adalah gerbong- gerbong dalam satu lokomotif yang sama, yang berjalan dengan satu tujuan. Seperti itulah hendaknya sinergi yang akan kita bangun bersama. Semoga.

*tulisan ini dimuat PontianakPost, Rabu 21 Maret 2007

Jumat, 10 Agustus 2007

dari ruang ke ruang



Tiadanya ruang yang representatif untuk sebuah pameran lukisan (seni rupa) sekarang ini di kota Pontianak, tidak membuat para pelaku seni dan pihak penyelenggara pameran (event organizer) kehilangan semangat untuk menggelar sebuah pameran yang apresiatif. Berbagai gelaran pameran di luar dari pada institusi resmi (taman budaya, yang gedung pamerannya sudah tak layak lagi), kerap kali dilaksanakan selama kurang lebih 6 (enam), tahun belakangan ini.

Ruang-ruang alternatif yang terkait dengan ruang publik, sering menjadi tempat tujuan pihak penyelenggara. seperti lobi-lobi hotel, museum, dan mal. Dengan tujuan untuk meluaskan dan menjangkau apresiasi yang lebih liuas dari khalayak (pencinta seni,kolektor,pedahang,agen,dan masyarakat awam seni), sebagaimana yang pernah dimuat di pontianakpost, rabu, 6 September 2006, halaman 17.

Sebuah kreatifitas yang patut diacungi jempol sekaligus mengundang ironi. Terkait dengan pengelolaan pameran itu sendiri. Karya lukis (seni rupa) sebagai sebuah karya representasi dari ide, gagasan, pemikiran, maupun pengalaman hidup pelukisnya, harus disampaikan dan disajikan kepada khalayak penikmat dengan lebih komunikatif. Di tingkat apresiasi yang sedang dibangun dan ditingkatkan, mustahil membiarka masyarakat untuk menafsir, membaca, atau menikmati karya seni tanpa ada upaya merespon secara komunikatif minat masyarakat akan karya seni itu sendiri.

Dalam sebuah gelaran pameran, hal itu bukan saja menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara tetapi juga menjadi tanggung jawab peserta/pelukisnya. Walaupun, dalam beberapa hal cukuplah paniitia menyediakan 'guide' yang cukup berpengetahuan dalam hal seluk beluk karya seni. Selain berfungsi sebagai ujung tombak pemasaran yang berperan penting dalam upaya 'transfer' karya seni dari seniman ke masyarakat luas.

Hal penting lainnya adalah tentang display (tata letak) karya yang memungkinkan peminat untuk menikmati sebuah karya dengan lebih nyaman dan seksama. Dan itu memerlukan pengetahuan khusus menyangkut seni visual (tata letak) dan tipologi masyarakat dalam menilai karya seni.

Faktor pendukung lain adalah promosi dan publikasi. Tanpa ke dua aspek ini aka berakibt kepada apresiasi seni masyarakat. Apresiasi masyarakat kurang, menyebabkan tingkat kesejahteraan seniman jadi memprihatinkan. Seniman yang tidak sejahtera akan menurunkan nilai eksistensinya yang pada akhirnya akan tenggelam sama sekali. Padahal mungkin seniman tersebut sangat berbakat, potensial, dan produktif. Sangat sering kita jumpai di kota ini seorang pelukis banting stir ke profesi lain dan meninggalkan dunia lukisnya di karenakan dia tak mendaoat kesejahteraan sebagai pelukis. alih-alih menjadi terkenal, di kampungnya sendiri pun warga tak mengenal dirinya sebagai pelukis (seniman). akankah seperti Van Gogh yang terkenal dan karyanya mendunia setelah lama wafat?

Kita tentu merindukan, lahirnya seniman-seniman lokal yang berprestasi tak hanya di daerahnya tetapi juga terkenal di kancah seni rupa nasional, bahkan dunia!? dengan mendukung dan memberikan apa yang pantas buat eksistensi mereka. menjadi kewajiban kita bersama untuk saling bahu-membahu membangun dunia kesenian kita.



"kanvas kosong itu telah penuh dengan goresan
membentuk dan merupa
warna- warna berserabutan
bercinta dalam komposisi dan warna
menggairahkan mood
dan menanti ending sebuah klimaks"

*tulisan ini dimuat di harian PontianakPost, minggu 10 September 2006

Selasa, 07 Agustus 2007

mencari seni rupa kota*


SEBUAH APRESIASI


Kalau pemusik dikenal karyanya lewat konser, keluarnya album baru, dan lagu-lagu yang diciptakannya dipopulerkan artis terkenal. Seniman teater dikenal lewat rutinitas pementasan teater, seniman tari dan penari lewat pertunjukkan tari, seniman sastra dikenal melalui peluncuran bukunya. Maka pelukis, dikenal lewat pameran-pameran lukisan (tunggal atau bersama). Demikian halnya dengan seniman-seniman dari profesi seni rupa lainnya.

Dalam kurun waktu tujuh tahun belakangan ini, hampir setiap tahun selalu diadakan pameran lukisan. Baik yang diselenggarakan oleh institusi pemerintah maupun swasta (lembaga budaya independent, even organizer, dll). Walaupun hanya terhitung setahun sekali, namun bagi sebagian pelukis event pameran merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu. Maklum, sebagian besar pelukis mengandalkan pameran untuk menjual karya-karyanya. Dengan terjualnya karya maka pelukis bisa 'hidup' dan terus produktif berkarya.

Tetapi apakah sesederhana itu kenyataannya? Pada realita yang sebenarnya, Pontianak bukanlah Jogja, Jakarta atau Bali. Dimana dunia seni rupa sangat bergairah, dinamis dan cukup banyak menghidupi seniman-senimannya secara layak bahkan ada yang sangat berlebihan. Lalu kenapa Pontianak tidak (belum) bisa seperti Bali, contohnya, yang juga di kenal dengan masyarakat adatnya (sementara disini banyak terbentuk organisasi masyarakat adat), Walah! Maksudnya apalagi tuh?

Seni rupa Bali terkenal bukan saja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Itu di karenakan budaya mereka yang tak lepas dari berkesenian sebagai salah satu ekspresi ritual yang erat kaitannya dengan praktek-praktek keagamaan. Spritualitas yang menjiwai setiap penduduknya hingga melahirkan energi produktifitas dalam berkarya dan semangat untuk menjunjung tinggi nilai-nilai budaya. Apakah kita tidak mempunyai hal-hal tersebut diatas?

Apresiasi, adalah hal yang pertama yang menjadi perhatian kita. Bukan hanya apresiasi masyarakat secara luas tetapi juga apresiasi senimannya sendiri terhadap profesinya. Akan sangat berbeda profesi sebagai pilihan hidup dengan yang hanya sekedar hobi, mengisi waktu luang, apalagi yang hanya sekedar ikut-ikutan. Betul bahwa selama ini sudah menjadi stigma di masyarakat, profesi sebagai seniman adalah profesi kelas paling bawah. Marjinal dan minor. Tak berguna, melarat, susah, ngak bisa hidup senang, bohemian, gypsi. Benarkah demikian ? Jawaban yang paling mudah adalah dengan melihat diri kita sendiri sebagai oknum yang dimaksud. Apakah kita sudah menjalankan profesi kita dengan sebaik-baiknya.

Alasan yang kedua, adalah, Pontianak bukan kota seni dan budaya tetapi kota jasa dan perdagangan?

Alasan yang ketiga, Seni belum menjadi kebutuhan sebagaimana tren hape seken dan konter pulsa.

Alasan keempat, Senimannya ngak bisa jual karya seni karena menurut mereka karya seni 'tak ternilai harganya' dan bukan produk komersil yang bisa di diskon-diskon pada saat cuci gudang.

Alasan kelima (dan bukan yang terakhir), Tiadanya ruang pamer yang representatip yang bisa menampung karya lukis secara permanen dan mudah di akses masyarakat luas. Untuk alasan kelima, perlu adanya usaha untuk mewujudkan sebuah tempat atau pusat ruang pamer (bisa berupa galeri, kios-kios atau studio-studio pelukis) di tempat-tempat ramai dan strategis. Warga kota selama ini tak mengenal karya-karya pelukis kita dan lebih mudah mencitrakan sebuah lukisan dari jawa, salah satunya dikarenakan warga kota tak mendapat akses langsung untuk meng-apresiasi karya pelukis-pelukis kita.


TANYA KENAPA?


Kerja pelukis berbeda dengan bidang profesi seni lainnya. Teater,tari dan musik bekerja secara kolektif, sedangkan pelukis bekerja secara individual dengan ruang dan waktu yang fleksibel. Seorang pelukis bisa berkarya kapan dan dimana saja. Tak jarang rumah hingga kamar pribadipun dijadikan studio sekaligus ruang pamer. Hal tersebut menyebabkan mereka tidak menonjol secara profesi di masyarakat, dikarenakan sifat pekerjaannya yang cenderung tertutup (ekslusif).

Kalau bukan karena pelukisnya sendiri yang secara aktif bersosialisasi dan memperkenalkan karya-karyanya, masyarakat tidak akan tahu dan mengenal pelukis tersebut. Interaksi dengan masyarakat sangatlah penting bagi seniman, mengingat tujuan akhir sebuah karya seni adalah audiens atau apresian yaitu masyarakat.

Totalitas berkesenian menuntut pelakunya untuk dapat memenej profesionalitasnya. Pekerja seni tidak hanya berkarya untuk dirinya sendiri lalu cukup berpuas diri sambil menikmati hasil karyanya yang bertumpuk-tumpuk tersimpan di kediamannya,

Budaya dan peradaban manusia terbangun (atau tersimbolkan) oleh sumbangsih besar para seniman terhadap kemanusian. Simbol kemajuan peradaban tersebut di beberapa negara dan kota besar dapat kita lihat contohnya dalam wujud arsitektur khas bangunan, monumen-monumen, peninggalan-peningalan sejarah, adanya museum dan ikon-ikon kota yang penuh dengan sentuhan seni. Bagaimana dengan kota kita ini? Dimana kita dapat melihat karya patung? (selain patung aparat di persimpangan jalan Tanjungpura-Imam Bonjol). Apakah karena disini tidak ada seniman patung yang eksis? Atau mungkin secara artistik patung-patung tersebut belum bisa mewakili wajah kota kita (ikon)? Apalagi untuk mencari karya-karya lukis pelukis-pelukis kita. Ruang pamer yang ada (galeri/studio), baru sebatas berfungsi ganda. Toko kaca atau bingkai yang kebetulan menjual lukisan sebagai contohnya. Lukisan yang dijual pun kebanyakan didatangkan dari Jawa dan Bali. Sebagian repro hasil cetak dengan harga yang setara dengan lukisan asli.

Mencermati apresiasi masyarakat yang kurang terhadap seni rupa kita, seorang Lim Sahih (pelukis) berpendapat setidaknya ada dua alasan, yang pertama, tiadanya wadah berupa bangunan yang diperuntukkan bagi para pelukis untuk berkumpul dan pajang karya. Dan alasan yang kedua menurutnya adalah mungkin juga salah pelukisnya yang enggan menunjukkan keberadaanya dikarenakan oleh kondisi sistem yang ada kurang kondusif.

Ketika ditanyakan, yang dimaksudkannya dengan "sistem yang kurang kondusif", bung sahih (sapaan akrab Lim Sahih) dengan agak segan dan terkesan serba salah mengungkapkan bahwa lembaga yang terkait dengan pembinaan kesenian kurang optimal dalam fungsi dan kerjanya. Hal ini membuat para pekerja seni sering merasa "patah hati" dan tak mau lagi bekerjasama dengan pihak yang terkait tersebut.


GELIAT KOMUNITAS


Kegelisahan yang kerap kali muncul dibenak kita adalah dimanakah "penanda" seni rupa kita itu? Silang sengkarut permasalahan realita di atas, dari minimnya apresiasi, SDM, hingga manajemen kesenian, bisa jadi "penanda" itu sendiri. Khas permasalahan lokalitas (kedaerahan) lengkap dengan ketertinggalan dan keterbelakangannya akibat penjajahan sentralistik terhadap otonomi daerah!

Beberapa waktu lalu sempat muncul riak-riak kegairahan yang mengusung label komunitas. Dengan gelaran pamerannya yang bertajuk "Isi Kepala", mencoba memberi warna baru paradigma wacana pemajuan seni rupa kota. Menampilkan karya-karya kontemporer seni lukis, instalasi dan fotografi. Namun akhir tahun 2005 tersebut ternyata belum secara signifikan mempengaruhi geliat keseni-rupaan kita. Kenapa? Karena geliat komunitas-komunitas itu belum ditindak lanjuti dengan aksi-aksi (pameran) selanjutnya sampai sekarang.

Tiadanya pengaruh yang signifikan itu diakui juga oleh Jayus Agustono, seorang perupa nyentrik yang selalu menampilkan simbolisasi pesan di dalam setiap karya-karyanya. Menurut salah satu pentolan Komunitas Sanggar Seni Rupa Nuansa (Nuansa Eseser) ini, pengaruh atau kemajuan seni rupa kita sebenarnya tergantung kepada person-personnya. Apakah pendapat ini juga "simbol" pesannya bahwa perupa-perupa kita masih berjalan sendiri-sendiri? (#Ri-KK#)


*tulisan ini dimuat di Newsletter Kebunkopi Edisi ke 3/April-Mei 2007 (gbr di atas).