Selasa, 07 Agustus 2007

mencari seni rupa kota*


SEBUAH APRESIASI


Kalau pemusik dikenal karyanya lewat konser, keluarnya album baru, dan lagu-lagu yang diciptakannya dipopulerkan artis terkenal. Seniman teater dikenal lewat rutinitas pementasan teater, seniman tari dan penari lewat pertunjukkan tari, seniman sastra dikenal melalui peluncuran bukunya. Maka pelukis, dikenal lewat pameran-pameran lukisan (tunggal atau bersama). Demikian halnya dengan seniman-seniman dari profesi seni rupa lainnya.

Dalam kurun waktu tujuh tahun belakangan ini, hampir setiap tahun selalu diadakan pameran lukisan. Baik yang diselenggarakan oleh institusi pemerintah maupun swasta (lembaga budaya independent, even organizer, dll). Walaupun hanya terhitung setahun sekali, namun bagi sebagian pelukis event pameran merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu. Maklum, sebagian besar pelukis mengandalkan pameran untuk menjual karya-karyanya. Dengan terjualnya karya maka pelukis bisa 'hidup' dan terus produktif berkarya.

Tetapi apakah sesederhana itu kenyataannya? Pada realita yang sebenarnya, Pontianak bukanlah Jogja, Jakarta atau Bali. Dimana dunia seni rupa sangat bergairah, dinamis dan cukup banyak menghidupi seniman-senimannya secara layak bahkan ada yang sangat berlebihan. Lalu kenapa Pontianak tidak (belum) bisa seperti Bali, contohnya, yang juga di kenal dengan masyarakat adatnya (sementara disini banyak terbentuk organisasi masyarakat adat), Walah! Maksudnya apalagi tuh?

Seni rupa Bali terkenal bukan saja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Itu di karenakan budaya mereka yang tak lepas dari berkesenian sebagai salah satu ekspresi ritual yang erat kaitannya dengan praktek-praktek keagamaan. Spritualitas yang menjiwai setiap penduduknya hingga melahirkan energi produktifitas dalam berkarya dan semangat untuk menjunjung tinggi nilai-nilai budaya. Apakah kita tidak mempunyai hal-hal tersebut diatas?

Apresiasi, adalah hal yang pertama yang menjadi perhatian kita. Bukan hanya apresiasi masyarakat secara luas tetapi juga apresiasi senimannya sendiri terhadap profesinya. Akan sangat berbeda profesi sebagai pilihan hidup dengan yang hanya sekedar hobi, mengisi waktu luang, apalagi yang hanya sekedar ikut-ikutan. Betul bahwa selama ini sudah menjadi stigma di masyarakat, profesi sebagai seniman adalah profesi kelas paling bawah. Marjinal dan minor. Tak berguna, melarat, susah, ngak bisa hidup senang, bohemian, gypsi. Benarkah demikian ? Jawaban yang paling mudah adalah dengan melihat diri kita sendiri sebagai oknum yang dimaksud. Apakah kita sudah menjalankan profesi kita dengan sebaik-baiknya.

Alasan yang kedua, adalah, Pontianak bukan kota seni dan budaya tetapi kota jasa dan perdagangan?

Alasan yang ketiga, Seni belum menjadi kebutuhan sebagaimana tren hape seken dan konter pulsa.

Alasan keempat, Senimannya ngak bisa jual karya seni karena menurut mereka karya seni 'tak ternilai harganya' dan bukan produk komersil yang bisa di diskon-diskon pada saat cuci gudang.

Alasan kelima (dan bukan yang terakhir), Tiadanya ruang pamer yang representatip yang bisa menampung karya lukis secara permanen dan mudah di akses masyarakat luas. Untuk alasan kelima, perlu adanya usaha untuk mewujudkan sebuah tempat atau pusat ruang pamer (bisa berupa galeri, kios-kios atau studio-studio pelukis) di tempat-tempat ramai dan strategis. Warga kota selama ini tak mengenal karya-karya pelukis kita dan lebih mudah mencitrakan sebuah lukisan dari jawa, salah satunya dikarenakan warga kota tak mendapat akses langsung untuk meng-apresiasi karya pelukis-pelukis kita.


TANYA KENAPA?


Kerja pelukis berbeda dengan bidang profesi seni lainnya. Teater,tari dan musik bekerja secara kolektif, sedangkan pelukis bekerja secara individual dengan ruang dan waktu yang fleksibel. Seorang pelukis bisa berkarya kapan dan dimana saja. Tak jarang rumah hingga kamar pribadipun dijadikan studio sekaligus ruang pamer. Hal tersebut menyebabkan mereka tidak menonjol secara profesi di masyarakat, dikarenakan sifat pekerjaannya yang cenderung tertutup (ekslusif).

Kalau bukan karena pelukisnya sendiri yang secara aktif bersosialisasi dan memperkenalkan karya-karyanya, masyarakat tidak akan tahu dan mengenal pelukis tersebut. Interaksi dengan masyarakat sangatlah penting bagi seniman, mengingat tujuan akhir sebuah karya seni adalah audiens atau apresian yaitu masyarakat.

Totalitas berkesenian menuntut pelakunya untuk dapat memenej profesionalitasnya. Pekerja seni tidak hanya berkarya untuk dirinya sendiri lalu cukup berpuas diri sambil menikmati hasil karyanya yang bertumpuk-tumpuk tersimpan di kediamannya,

Budaya dan peradaban manusia terbangun (atau tersimbolkan) oleh sumbangsih besar para seniman terhadap kemanusian. Simbol kemajuan peradaban tersebut di beberapa negara dan kota besar dapat kita lihat contohnya dalam wujud arsitektur khas bangunan, monumen-monumen, peninggalan-peningalan sejarah, adanya museum dan ikon-ikon kota yang penuh dengan sentuhan seni. Bagaimana dengan kota kita ini? Dimana kita dapat melihat karya patung? (selain patung aparat di persimpangan jalan Tanjungpura-Imam Bonjol). Apakah karena disini tidak ada seniman patung yang eksis? Atau mungkin secara artistik patung-patung tersebut belum bisa mewakili wajah kota kita (ikon)? Apalagi untuk mencari karya-karya lukis pelukis-pelukis kita. Ruang pamer yang ada (galeri/studio), baru sebatas berfungsi ganda. Toko kaca atau bingkai yang kebetulan menjual lukisan sebagai contohnya. Lukisan yang dijual pun kebanyakan didatangkan dari Jawa dan Bali. Sebagian repro hasil cetak dengan harga yang setara dengan lukisan asli.

Mencermati apresiasi masyarakat yang kurang terhadap seni rupa kita, seorang Lim Sahih (pelukis) berpendapat setidaknya ada dua alasan, yang pertama, tiadanya wadah berupa bangunan yang diperuntukkan bagi para pelukis untuk berkumpul dan pajang karya. Dan alasan yang kedua menurutnya adalah mungkin juga salah pelukisnya yang enggan menunjukkan keberadaanya dikarenakan oleh kondisi sistem yang ada kurang kondusif.

Ketika ditanyakan, yang dimaksudkannya dengan "sistem yang kurang kondusif", bung sahih (sapaan akrab Lim Sahih) dengan agak segan dan terkesan serba salah mengungkapkan bahwa lembaga yang terkait dengan pembinaan kesenian kurang optimal dalam fungsi dan kerjanya. Hal ini membuat para pekerja seni sering merasa "patah hati" dan tak mau lagi bekerjasama dengan pihak yang terkait tersebut.


GELIAT KOMUNITAS


Kegelisahan yang kerap kali muncul dibenak kita adalah dimanakah "penanda" seni rupa kita itu? Silang sengkarut permasalahan realita di atas, dari minimnya apresiasi, SDM, hingga manajemen kesenian, bisa jadi "penanda" itu sendiri. Khas permasalahan lokalitas (kedaerahan) lengkap dengan ketertinggalan dan keterbelakangannya akibat penjajahan sentralistik terhadap otonomi daerah!

Beberapa waktu lalu sempat muncul riak-riak kegairahan yang mengusung label komunitas. Dengan gelaran pamerannya yang bertajuk "Isi Kepala", mencoba memberi warna baru paradigma wacana pemajuan seni rupa kota. Menampilkan karya-karya kontemporer seni lukis, instalasi dan fotografi. Namun akhir tahun 2005 tersebut ternyata belum secara signifikan mempengaruhi geliat keseni-rupaan kita. Kenapa? Karena geliat komunitas-komunitas itu belum ditindak lanjuti dengan aksi-aksi (pameran) selanjutnya sampai sekarang.

Tiadanya pengaruh yang signifikan itu diakui juga oleh Jayus Agustono, seorang perupa nyentrik yang selalu menampilkan simbolisasi pesan di dalam setiap karya-karyanya. Menurut salah satu pentolan Komunitas Sanggar Seni Rupa Nuansa (Nuansa Eseser) ini, pengaruh atau kemajuan seni rupa kita sebenarnya tergantung kepada person-personnya. Apakah pendapat ini juga "simbol" pesannya bahwa perupa-perupa kita masih berjalan sendiri-sendiri? (#Ri-KK#)


*tulisan ini dimuat di Newsletter Kebunkopi Edisi ke 3/April-Mei 2007 (gbr di atas).

3 komentar:

  1. rul..tulisannya bagus juga buat ukuran seorang seniman lukis..(salut) pontianak memang belum jadi surga buat pelukis lokal..aku ada usul, gimana kalo lukisan teman-teman kita kumpulin trus dimuat disebuah blog khusus PELUKIS PONTIANAK..paling ngga` kita udah memperkenalkan, di Pontianak juga ada sebuah komunitas pelukis..blog ini kan bisa dibuka semua orang..anggap aja kita buat galeri didunia maya...hehehe..

    BalasHapus
  2. Rul...ini tulisan siapa? Kalo boleh, semisal ada halaman kosong di harian saya, mohon izin untuk menyisipkan tulisan ini....
    tks bfr

    BalasHapus
  3. Pak crueniaone ....itu tulisanku dulu, pak. ini blog lamak tak aktif, lupak pass....lanjot lah mo di apekan tulisan ni :))

    BalasHapus