Jumat, 10 Agustus 2007

dari ruang ke ruang



Tiadanya ruang yang representatif untuk sebuah pameran lukisan (seni rupa) sekarang ini di kota Pontianak, tidak membuat para pelaku seni dan pihak penyelenggara pameran (event organizer) kehilangan semangat untuk menggelar sebuah pameran yang apresiatif. Berbagai gelaran pameran di luar dari pada institusi resmi (taman budaya, yang gedung pamerannya sudah tak layak lagi), kerap kali dilaksanakan selama kurang lebih 6 (enam), tahun belakangan ini.

Ruang-ruang alternatif yang terkait dengan ruang publik, sering menjadi tempat tujuan pihak penyelenggara. seperti lobi-lobi hotel, museum, dan mal. Dengan tujuan untuk meluaskan dan menjangkau apresiasi yang lebih liuas dari khalayak (pencinta seni,kolektor,pedahang,agen,dan masyarakat awam seni), sebagaimana yang pernah dimuat di pontianakpost, rabu, 6 September 2006, halaman 17.

Sebuah kreatifitas yang patut diacungi jempol sekaligus mengundang ironi. Terkait dengan pengelolaan pameran itu sendiri. Karya lukis (seni rupa) sebagai sebuah karya representasi dari ide, gagasan, pemikiran, maupun pengalaman hidup pelukisnya, harus disampaikan dan disajikan kepada khalayak penikmat dengan lebih komunikatif. Di tingkat apresiasi yang sedang dibangun dan ditingkatkan, mustahil membiarka masyarakat untuk menafsir, membaca, atau menikmati karya seni tanpa ada upaya merespon secara komunikatif minat masyarakat akan karya seni itu sendiri.

Dalam sebuah gelaran pameran, hal itu bukan saja menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara tetapi juga menjadi tanggung jawab peserta/pelukisnya. Walaupun, dalam beberapa hal cukuplah paniitia menyediakan 'guide' yang cukup berpengetahuan dalam hal seluk beluk karya seni. Selain berfungsi sebagai ujung tombak pemasaran yang berperan penting dalam upaya 'transfer' karya seni dari seniman ke masyarakat luas.

Hal penting lainnya adalah tentang display (tata letak) karya yang memungkinkan peminat untuk menikmati sebuah karya dengan lebih nyaman dan seksama. Dan itu memerlukan pengetahuan khusus menyangkut seni visual (tata letak) dan tipologi masyarakat dalam menilai karya seni.

Faktor pendukung lain adalah promosi dan publikasi. Tanpa ke dua aspek ini aka berakibt kepada apresiasi seni masyarakat. Apresiasi masyarakat kurang, menyebabkan tingkat kesejahteraan seniman jadi memprihatinkan. Seniman yang tidak sejahtera akan menurunkan nilai eksistensinya yang pada akhirnya akan tenggelam sama sekali. Padahal mungkin seniman tersebut sangat berbakat, potensial, dan produktif. Sangat sering kita jumpai di kota ini seorang pelukis banting stir ke profesi lain dan meninggalkan dunia lukisnya di karenakan dia tak mendaoat kesejahteraan sebagai pelukis. alih-alih menjadi terkenal, di kampungnya sendiri pun warga tak mengenal dirinya sebagai pelukis (seniman). akankah seperti Van Gogh yang terkenal dan karyanya mendunia setelah lama wafat?

Kita tentu merindukan, lahirnya seniman-seniman lokal yang berprestasi tak hanya di daerahnya tetapi juga terkenal di kancah seni rupa nasional, bahkan dunia!? dengan mendukung dan memberikan apa yang pantas buat eksistensi mereka. menjadi kewajiban kita bersama untuk saling bahu-membahu membangun dunia kesenian kita.



"kanvas kosong itu telah penuh dengan goresan
membentuk dan merupa
warna- warna berserabutan
bercinta dalam komposisi dan warna
menggairahkan mood
dan menanti ending sebuah klimaks"

*tulisan ini dimuat di harian PontianakPost, minggu 10 September 2006

1 komentar:

  1. selamArt. bog ini sangat bagus. menandekan juga bahwa seniman kalbar itu cerdas.soalnye bise menuangkan gagasan tak hanya dikanvas tapi juga liwat tulisan.mant@rtp!

    BalasHapus